Custom Search

Friday, October 4, 2013

Konsolidasi Buruh Menjelang Mogok Nasional

mogok nasional 2013
ilustrasi
Berita Buruh, Jakarta -Ratusan serikat pekerja yang tergabung di berbagai konfederasi menggelar konsolidasi guna mempersiapkan rencana mogok kerja nasional dalam rangka memperjuangkan kenaikan upah minimum 2014.
Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, konsolidasi itu bukan saja dihadiri oleh perwakilan serikat pekerja dan aliansi dari 20 provinsi serta 100 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Tapi juga perwakilan dewan pengupahan daerah unsur pekerja. Mogok kerja nasional rencananya digelar akhir Oktober dan akan berlangsung tiga hari.

Dari informasi yang diperolehnya, Iqbal menuturkan pemerintah akan menetapkan upah minimum 2014 secara serentak pada 1 November 2013. Mengingat pemerintah, terutama Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri Perindustrian MS Hidayat, ingin menentukan UMP lewat Inpres tentang Pengupahan, maka serikat pekerja sepakat untuk meresponnya dengan mogok kerja nasional. Menurut Iqbal, UU Ketenagakerjaan serta peraturanperundang-undangan tentang pengupahan sudah mengatur bagaimana upah minimum ditentukan.
Misalnya, Iqbal melanjutkan, menggunakan metode survei KHL kemudian dibahas di tingkat dewan pengupahan daerah dan hasilnya diberikan kepada Gubernur untuk menetapkan upah. Oleh karenanya, Iqbal memandang rencana kedua Menteri itu mendorong Presiden SBY untuk menerbitkan Inpres tergolong melanggar aturan tersebut. Selain tidak sepakat dengan Inpres itu, Iqbal mengatakan serikat pekerja menuntut kenaikan upah secara nasional untuk tahun depan 50 persen. Menurutnya, tuntutan itu bukan tanpa alasan, sebab dengan kenaikan upah, serikat pekerja mendorong perbaikan kesejahteraan masyarakat Indonesia, khususnya kaum pekerja.
Apalagi, di tengah pertumbuhan Indonesia yang cukup baik, Iqbal mencatat indeks ketimpangan distribusi pendapatan dalam beberapa tahun terakhir semakin tinggi. Artinya, kesenjangan ekonomi di Indonesia semakin lebar. Menurutnya hal tersebut bukan isapan jempol semata sebab ketimpangan itu terjadi secara nyata di berbagai perusahaan di Indonesia. Misalnya, sebuah perusahaan atau BUMN yang memproduksi obat, rata-rata upah di tingkat manajemen mencapai 200 jutaan sebulan. Namun, pekerjanya rata-rata hanya diupah Rp2,8 juta, itupun ada yang statusnya kontrak atau outsourcing.
Jika dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara yang usia kemerdekaannya jauh lebih muda ketimbang Indonesia, Iqbal mengatakan selisih upah minimumnya sangat tipis. Misalnya, Kamboja dan Vietnam. Padahal, infrastruktur untuk menunjang kegiatan investasi dan bisnis lebih baik di Indonesia ketimbang kedua negara itu. Oleh karenanya, Iqbal menilai wajar jika upah minimum di Indonesia harus lebih tinggi. Apalagi, pertumbuhan ekonomi di Indonesia termasuk tertinggi di dunia sekalipun ada koreksi dari Menteri Keuangan menjadi 5,9-6 persen. Bahkan mengacu data World Economic Forum, Iqbal mencatat Indonesia lebih menarik bagi investor ketimbang Malaysia.
Mengacu kondisi itu Iqbal berpendapat kenaikan upah minimum tidak bisa dijadikan alasan sebagai hambatan investor masuk ke Indonesia. Begitu pula dengan menurunnya nilai rupiah terhadap dollar AS, menurut Iqbal tidak logis jika upah minimum harus ditekan guna mendongkrak kurs rupiah. Bagi Iqbal, lemahnya nilai rupiah terhadap dollar AS diakibatkan oleh dua hal. Pertama, perusahaan dan BUMN yang ada di Indonesia jatuh tempo membayar hutang, sehingga dibutuhkan banyak nominal dalam bentuk dollar AS.
Kedua, neraca perdagangan Indonesia pada posisi impor lebih banyak ketimbang ekspor. Akibat dari kedua kondisi itu berujung pada merosotnya nilai rupiah. “Itu yang berhutang kan perusahaan-perusahaan dan BUMN, bukan pekerja, tapi kenapa kaum pekerja harus menanggung, sehingga upahnya ditekan,” kata Iqbal dalam jumpa pers di gedung Juang 45, Jakarta, Senin (30/9).
Untuk perusahaan padat karya yang tidak mampu, Iqbal mengusulkan agar pindah ke wilayah lain yang upahnya lebih rendah dari Jabodetabek. Sejalan dengan itu pemerintah harus memfasilitasi lokasi khusus untuk industri padat karya tersebut. Walau begitu Iqbal menekankan, upah bukan ditentukan berdasarkan jenis industri tempat pekeja bekerja, namun mengacu biaya kebutuhan hidup layak atau KHL. Jika mengacu 60 komponen KHL seperti yang digunakan saat ini sebagaimana Permenakertrans No.13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian KHL, bagi Iqbal sudah tidak layak.
Sebab, Iqbal menandaskan, tidak sesuai lagi dengan kebutuhan riil pekerja. Misalnya, kebutuhan pekerja untuk mengkonsumsi daging hanya 0,75 kg dan lima potong ikan setiap bulan. Mengacu hal itu, Iqbal mengatakan serikat pekerja menuntut agar Permenakertrans KHL direvisi menjadi 84 komponen. Jika pemerintah tidak mau melakukan itu maka harus ada peningkatan kualitas pada 60 komponen KHL.
Pada kesempatan yang sama ketua umum SBTPI, Ilhamsyah, mengatakan pemerintah tidak responsif terhadap nasib para pekerja. Buktinya, sejumlah kawasan industri dan sejumlah perusahaan dimasukan dalam kategori objek vital. Dengan begitu, Ilhamsyah memperkirakan ke depan, para pekerja yang berada di lokasi objek vital itu tidak boleh melaksanakan hak-haknya seperti demonstrasi dan mogok kerja. Padahal, kegiatan itu diperlukan sebagai upaya para pekerja memperjuangkan nasibnya dan pelaksanaannya dijamin konstitusi.
Misalnya, di kawasan pelabuhan di Jakarta ada pekerja yang diupah jauh di bawah upah minimum, yaitu Rp.1,2 juta. Ironisnya, pekerja itu harus bekerja selama 12 jam dalam satu hari. Oleh karenanya, Ilhamsyah mengaku sangat mendukung rencana mogok nasional. “Jadi semua serikat pekerja, para pimpinannya harus melakukan sosialisasi atas persiapan mogok nasional kepada anggotanya,” ujarnya.
Sementara anggota dewan pengupahan DKI Jakarta dari unsur pekerja, Dedi Hartono, mengatakan sampai saat ini dewan pengupahan masih membahas besaran komponen KHL. Hasil dari pembahasan itu nantinya akan dijadikan rekomendasi kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi UMP DKI Jakarta. Ia menjelaskan dari berbagai pembahasan dan survei yang telah dilakukan, terhitung sampai September 2013 besaran KHL Rp2.132.306. Beberapa komponen KHL yang naik diantaranya transportasi sebesar Rp11.500 dan listrik Rp41.300 per bulan.
Sedangkan komponen perumahan dan air belum dibahas, namun khusus untuk kebutuhan akan air, serikat pekerja mendorong agar besarannya mencapai Rp45.000 per bulan. Bahkan, dalam rangka pembahasan penentuan besaran UMP 2014, Dedi melihat Pemda DKI Jakarta menginisiasi untuk membentuk forum konsolidasi dewan pengupahan se-Jabodetabek.
Walau begitu Dedi kurang mengerti apa maksud Pemda DKI Jakarta mengadakan forum kondolidasi itu. Namun yang jelas di dewan pengupahan ia berjanji berkomitmen untuk mendorong kenaikan UMP 2014 menjadi 50 persen sebagaimana harapan serikat pekerja. “Kami akan berupaya memperjuangkan kenaikan UMP 2014 sebesar 50 persen,” ujarnya.
Sampai berita ini dibuat, Dirjen PHI dan Jamsos Kemnakertrans, Ruslan Irianto Simbolon, belum dapat berkomentar perihal Inpres tentang Pengupahan ataupun tuntutan kenaikan UMP. Upaya menghubungi lewat telepon dan pesan singkat tidak berbuah seperti harapan. “Maaf sedang rapat,” ujarnya.

sumber : hukum online

No comments: